Pengelolaan Sampah di Banjarsari
Kertas daur ulang yang dibuat oleh Bu Agustin sendiri
Siang ini, TCFT (diwakili oleh Alanda, Netta, Adit, Anggie & Yura) mengunjungi Kampung Banjarsari, Cilandak Barat, yang beberapa bulan yang lalu mendapat predikat “Kampung Hijau” dari Gubernur DKI Jakarta. Turun dari Apotik Ratna, Cilandak, Anggie pun menjadi tour guide karena ia pernah tinggal di daerah tersebut.
Sightseeing… First impression? Satu kalimat: nggak kayak di Jakarta. Di setiap rumah yang kami lewati memiliki pot-pot besar berisi tumbuhan di depan rumah mereka masing-masing. Di depan rumah Ketua RW, kami bahkan menemukan tiga tabung horizontal dengan tiga warna yang berbeda, untuk membedakan di antara sampah basah, sampah organik dan anorganik. Suasananya berasa seperti di pedesaan, meskipun ada terik matahari, tetapi udaranya terasa sangat sejuk. Satu hal lagi yang membuat kami amazed adalah, tidak ada satupun sampah yang berada di jalanan.
Kami pun mampir ke “Warung Dua Satu”, sebuah rumah di hook, di seberang rumah Pak RW (yang pada saat itu sedang tidak ada di tempat). Kami berkenalan dengan Ibu Agustin Riyanto—sang pemilik rumah, yakni salah seorang warga yang aktif membenahi lingkungan di komplek tersebut. Beliau pun menceritakan asal muasal mengapa kompleks tersebut disebut “Kampung Hijau”.
Pada awalnya memang sudah ada kerjasama dengan Dinas Pertanian, dalam bentuk Kelompok Wanita Tani, di mana warganya diajarkan untuk menanam berbagai macam tumbuhan dan membasmi hama. Setelah itu, tepatnya pada tahun 1998, UNESCO menawarkan kerjasama dan memberikan penyuluhan mengenai penghijauan, pemilahan sampah, dan melatih masyarakat setempat untuk mendaur ulang kertas dan membuat pupuk kompos. Selain itu, Ibu Agustin juga dikursuskan oleh kelurahan tentang jenis-jenis tanaman obat dan cara pengolahannya di Bogor. Alhasil, beliau pun membuka toko tanaman obat di rumahnya. Selain menjual bibit tanaman obat dan pupuk kompos, beliau juga memberi pelatihan daur ulang bagi anak-anak maupun remaja yang berminat mempelajarinya. Seperti mendaur ulang kertas, membuat pupuk cair, dan lain-lain. Kami juga melihat kertas yang dihasilkan oleh beliau, benar-benar mirip seperti kertas HVS, hanya sedikit lebih tebal dan permukaannya agak kasar.
Banjarsari bisa menjadi “Kampung Hijau” karena kesadaran masyarakatnya yang tinggi. 60% penduduk setempat memilah sampah di rumah masing-masing, minimal menjadi dua kategori, yakni organik dan anorganik. Sebisa mungkin, sampah organik mereka jadikan pupuk kompos dengan cara menimbunnya di tanah yang diurug (teknik landfill) dan menyiramkan bahan kimia EM4 untuk menghilangkan baunya. Dalam tiga hari, sampah tersebut sudah bisa digunakan menjadi pupuk kompos. Ibu Agustin bahkan menggunakannya sebagai media tanam untuk menggantikan tanah.
Selain itu, Ibu Agustin juga memberi informasi bahwa di Bekasi ada seorang bapak yang berwirausaha di bidang pengolahan sampah, segala macam jenis sampah bisa ia olah menjadi suatu hal yang berguna untuk dijual, menggunakan alat-alat pencacah yang harganya memang relatif mahal. Ia memulai usahanya dari bawah, sampai sekarang sudah bisa membeli mobil hanya karena menjual hasil daur ulang. Anak-anak Universitas Indonesia (UI) saja membuat dekomposer dengan modal kurang dari Rp50.000,- untuk tugas OSPEK! Jadi sepertinya, penyediaan alat tidak menjadi kendala. Tinggal meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hal ini.
Insya Allah di Bulan Juni mendatang, TCFT akan mengunjungi “Warung Dua Satu” untuk mempelajari teknik daur ulang kepada Ibu Agustin supaya bisa berbagi ilmu kepada sesama remaja dan bahkan menerapkannya di lingkungan sekitar. Supaya tidak hanya Banjarsari yang menjadi “Kampung Hijau”, jadikan Jakarta “Kota Hijau”!
1 comment:
so gimana cara menangani sampah yang non organik di wilayah banjarsari...? bisa dijelaskan lebih detail.?? terimakasih ..Riffa di jakarta timur
Post a Comment