Thursday, May 24, 2007

TRAX FM Broadcasters Meeting

Saya dan Anggie diundang menghadiri broadcasters meeting di radio TRAX FM (Gedung Sarinah Thamrin Lt. 8). Sayangnya, Anggie tidak bisa hadir, begitu juga dengan Aisha, so I went all alone there by TransJakarta from school.
Yang mengundang namanya Rachel Panjaitan, salah seorang produser program siaran malam di sana. She's a friend of Anggie's. TCFT diundang dalam rangka menjelaskan atau mempresentasikan tentang TCFT di hadapan para penyiar. Penyiar yang ikut rapat antara lain adalah Cheryl (finalis MTV VJ Hunt 2007), Cisca Baker (presenter acara-acara off-air-nya MRA Media), Kemal (presenter "Jali-jali" di O Channel), Taufik, Ocha, Yudith, Sandra dan banyak penyiar lainnya yang antusias mendengarkan penjelasan saya mengenai TCFT. Tiko bahkan sangat semangat dan langsung berkomentar bahwa masyarakat Indonesia memang belum terbiasa dengan tempat sampah karena kurangnya recycle bin yang tersedia. Selesai menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan para penyiar mengenai TCFT, saya 'ditodong' Cisca Baker untuk take VO. Ups, apa itu take VO? Ternyata saya disuruh berkampanye mengenai "buang sampah pada tempatnya", on behalf of The Cure For Tomorrow untuk program mereka di bulan berikutnya.
Stay tuned in TRAX FM next month. Kampanye mereka di Bulan Juni 2007 adalah "I Love You, Mother Nature!". Jadi, bulan depan kalian bisa mendengarkan fakta-fakta mengenai lingkungan, pembahasan lebih lanjut mengenai fenomena pemanasan global, daur ulang, dan masih banyak lagi, melalui program-program spesial mereka: Letter To Mother Nature, Voice of Mother Nature, Mother Nature Makes Me Wanna La La, dan lainnya.
Simak ya, and become one of youth's ambassadors, like us :D
-Alanda

Thursday, May 17, 2007

Pengelolaan Sampah di Banjarsari

Yes, this is it. Ada sampah? No?

Kertas daur ulang yang dibuat oleh Bu Agustin sendiri


Siang ini, TCFT (diwakili oleh Alanda, Netta, Adit, Anggie & Yura) mengunjungi Kampung Banjarsari, Cilandak Barat, yang beberapa bulan yang lalu mendapat predikat “Kampung Hijau” dari Gubernur DKI Jakarta. Turun dari Apotik Ratna, Cilandak, Anggie pun menjadi tour guide karena ia pernah tinggal di daerah tersebut.

Sightseeing… First impression? Satu kalimat: nggak kayak di Jakarta. Di setiap rumah yang kami lewati memiliki pot-pot besar berisi tumbuhan di depan rumah mereka masing-masing. Di depan rumah Ketua RW, kami bahkan menemukan tiga tabung horizontal dengan tiga warna yang berbeda, untuk membedakan di antara sampah basah, sampah organik dan anorganik. Suasananya berasa seperti di pedesaan, meskipun ada terik matahari, tetapi udaranya terasa sangat sejuk. Satu hal lagi yang membuat kami amazed adalah, tidak ada satupun sampah yang berada di jalanan.

Kami pun mampir ke “Warung Dua Satu”, sebuah rumah di hook, di seberang rumah Pak RW (yang pada saat itu sedang tidak ada di tempat). Kami berkenalan dengan Ibu Agustin Riyanto—sang pemilik rumah, yakni salah seorang warga yang aktif membenahi lingkungan di komplek tersebut. Beliau pun menceritakan asal muasal mengapa kompleks tersebut disebut “Kampung Hijau”.

Pada awalnya memang sudah ada kerjasama dengan Dinas Pertanian, dalam bentuk Kelompok Wanita Tani, di mana warganya diajarkan untuk menanam berbagai macam tumbuhan dan membasmi hama. Setelah itu, tepatnya pada tahun 1998, UNESCO menawarkan kerjasama dan memberikan penyuluhan mengenai penghijauan, pemilahan sampah, dan melatih masyarakat setempat untuk mendaur ulang kertas dan membuat pupuk kompos. Selain itu, Ibu Agustin juga dikursuskan oleh kelurahan tentang jenis-jenis tanaman obat dan cara pengolahannya di Bogor. Alhasil, beliau pun membuka toko tanaman obat di rumahnya. Selain menjual bibit tanaman obat dan pupuk kompos, beliau juga memberi pelatihan daur ulang bagi anak-anak maupun remaja yang berminat mempelajarinya. Seperti mendaur ulang kertas, membuat pupuk cair, dan lain-lain. Kami juga melihat kertas yang dihasilkan oleh beliau, benar-benar mirip seperti kertas HVS, hanya sedikit lebih tebal dan permukaannya agak kasar.

Banjarsari bisa menjadi “Kampung Hijau” karena kesadaran masyarakatnya yang tinggi. 60% penduduk setempat memilah sampah di rumah masing-masing, minimal menjadi dua kategori, yakni organik dan anorganik. Sebisa mungkin, sampah organik mereka jadikan pupuk kompos dengan cara menimbunnya di tanah yang diurug (teknik landfill) dan menyiramkan bahan kimia EM4 untuk menghilangkan baunya. Dalam tiga hari, sampah tersebut sudah bisa digunakan menjadi pupuk kompos. Ibu Agustin bahkan menggunakannya sebagai media tanam untuk menggantikan tanah.

Selain itu, Ibu Agustin juga memberi informasi bahwa di Bekasi ada seorang bapak yang berwirausaha di bidang pengolahan sampah, segala macam jenis sampah bisa ia olah menjadi suatu hal yang berguna untuk dijual, menggunakan alat-alat pencacah yang harganya memang relatif mahal. Ia memulai usahanya dari bawah, sampai sekarang sudah bisa membeli mobil hanya karena menjual hasil daur ulang. Anak-anak Universitas Indonesia (UI) saja membuat dekomposer dengan modal kurang dari Rp50.000,- untuk tugas OSPEK! Jadi sepertinya, penyediaan alat tidak menjadi kendala. Tinggal meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hal ini.

Insya Allah di Bulan Juni mendatang, TCFT akan mengunjungi “Warung Dua Satu” untuk mempelajari teknik daur ulang kepada Ibu Agustin supaya bisa berbagi ilmu kepada sesama remaja dan bahkan menerapkannya di lingkungan sekitar. Supaya tidak hanya Banjarsari yang menjadi “Kampung Hijau”, jadikan Jakarta “Kota Hijau”!