Komunitas Kepedulian Remaja Indonesia: The Cure For Tomorrow (untuk selanjutnya disingkat TCFT) berangkat dari setitik keputusasaan yang ditemukan oleh Alanda Kariza dan Aishanatasha, yang kerap berusaha melamar menjadi sukarelawan di berbagai tempat, namun selalu ditolak karena usia mereka yang masih di bawah 17 tahun. Keputusasaan itu bertransformasi menjadi harapan dan mimpi, yang pada akhirnya membuahkan suatu keinginan untuk membangun komunitas sosial sendiri, dan mencoba sebuah hal yang nyaris tidak mungkin: mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Alhasil, TCFT pun dibentuk secara konseptual pada akhir Juni 2006.
Sejak dibentuk, TCFT sudah memiliki banyak peminat, meskipun yang aktif sampai sekarang hanya sekian orang. Pada awalnya, TCFT berniat untuk ‘memperbaiki’ segala hal yang ‘belum baik’. Boleh dibilang semuanya, dari lingkungan, pendidikan, kemiskinan, penyalahgunaan narkoba, kecanduan terhadap minuman keras dan pencegahan HIV/AIDS pun inginnya dibenahi sendiri. Apalagi dengan adanya perbedaan sudut pandang antara ketua dan wakilnya akan yang mana yang harus didahulukan dalam mengembangkan TCFT. Apakah kampanye untuk memperbaiki moral diri (misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya dan tidak merokok), atau bekerja keras melestarikan hutan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, TCFT sudah melakukan berbagai macam hal (meskipun tidak banyak), terutama ketika Bulan Ramadhan tahun pertama berdiri, TCFT mengadakan roadshow amal dengan menyelenggarakan acara buka puasa bersama anak-anak yang kurang mampu, tanpa lupa menyelipkan unsur edukasi di dalamnya. Misalnya, mengamen bersama anak-anak jalanan, mengajarkan proses daur ulang, mengajar melukis, dan sebagainya. TCFT juga membantu mengumpulkan sumbangan berbentuk barang untuk disalurkan kepada korban gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu, seluruh anggota TCFT diwajibkan berkomitmen terhadap diri mereka sendiri untuk selalu berpikiran positif, membuang sampah pada tempatnya, menjauhi NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; dalam konteks ini termasuk rokok), tidak kecanduan minuman beralkohol dan tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, mengingat budaya Timur di Indonesia masih sangat kental dan TCFT berusaha mengajak masyarakat untuk melestarikannya.
Pada Bulan Desember 2006, TCFT mengalami pembaharuan, yakni perubahan sudut pandang dan konteks kerja. Tanpa mengurangi keprihatinan terhadap kondisi isu penting lainnya, seperti pendidikan dan kemiskinan, TCFT untuk sementara memilih memfokuskan diri terhadap masalah lingkungan, khususnya sampah, yang merajalela di Indonesia, terutama di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Oleh karena itu, TCFT bermaksud untuk lebih sering menyelenggarakan kerja bakti, mengkampanyekan gerakan membuang sampah pada tempatnya terhadap siswa-siswi SMP dan SMA, serta mengedukasikan hal tersebut kepada siswa-siswi TK dan SD, supaya ‘membuang sampah pada tempatnya’ menjadi budaya di Indonesia. TCFT juga akan mengedukasi sebagian lapisan masyarakat tentang bagaimana mendaur ulang sampah dan pemanfaatan sampah itu sendiri, disisipkan pula artikel-artikel mengenai pengolahan sampah di negara-negara maju, untuk ‘membuka mata’ masyarakat akan hal ini. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa TCFT akan menyelenggarakan program-program yang berada di luar konteks tadi.
* * *
Komunitas Kepedulian Remaja Indonesia: The Cure For Tomorrow (TCFT) was born from a splotch of hopelessness which was felt by Alanda Kariza and Aishanatasha, who kept trying to apply as volunteers everywhere, but had always been rejected because of their age which was below 17 years old. The same hopelessness transformed and became hopefulness and dreams, which in the end, yielded a desire to build a social community by themselves, and to try something that was (and still is) nearly impossible: to change the world to be a better place worth the living. That was how TCFT was established conceptually at the end of June 2006.
The entire TCFT members have to commit to themselves to think positively, throw garbage properly, avoid drugs (narcotic, psychotropic, and other addictive essences) and alcoholic drinks, along with not to conduct any sexual intercourse before marriage, because East culture in Indonesia is very congealed and TCFT is trying to keep it remained. Every members of TCFT’s duty is to socialize this campaign and action to people around them, so this message is going to be delivered all around Indonesia, and then to The World.
On December 2006, TCFT got some renewal, which was a point-of-view and job context transition. Without decreasing our concernment towards other things’ conditions, such as education and poverty, TCFT had chosen to focus itself to manage environmental issues and problems – temporarily, especially about waste, which is a big problem in Jakarta without being concerned with its society. TCFT intends to organize “Clean Up The Hood” more frequently, to campaign “Do Not Litter” action towards high school students, and to educate the same thing to kindergarten and elementary school students, so that do-not-litter-thing can be a culture in Indonesia. TCFT also wants to educate some part of the society about how to recycle and take advantages from garbage and waste, with articles about waste incineration and management in other countries, to open their eyes about this issue. Nevertheless, it doesn’t cloak the chance for TCFT to organize other programs, which are out of the job context we explained before.
*Thanks to Matthew Satchwell (Perth) for the corrections.